Jumat, 29 Maret 2013

ADIBANGKIT




Aku bersama malam Mengintip langit yg menghitam
Menghisap  asap  menelan sebutir kecewa  dan membelai alam
Kutukan itu menyeret asa membongkar mimpi yg lusuh dan tenggelam
Kutukan itu meludahi nurani dan menziarahi pitam
Kutukan itu memanggil setan layaknya benzoin
Kutukan itu membangun nyaliku bertengger berdiam dalam klandestin
Aku bangkit dan berlari menelusuri labirin
Tak mau terkapar dalam pangkin


      Sepenggal luka sekeping noda segenggam harap
berdiri doyong dalam badai ketidak-pastian
andai ku bisa berlari dan menebasnya

MEMORY R.R.U DYNASTY


Membuka memory ,,
      Kita pernah lewati malam haram melingkar dan bersulang,bertukar gelas,bertukar tawa bertukar luka bahkan bertukar keringat,Kala kita bertemu berkelakar menebas candu rindu seolah kita amnesia dengan problematika diluar sana,yang ada hanya Kita.Langit yg murampun kita paksa utk turut tertawa temani kita,Waktu yg menggelinding takkan merusak jaringan memory yg telah kita rakit.,,ingatkah kalian saat kita bertukar tawa dari hal yg sebesar gunung sampai ujung gelas yg menghantam taringpun jadi bahan kita untuk membuat tawa.Kita pernah juga merakit rasa sakit demi sebuah pertemuan dan ritual yg kita laksanakan.Saat komando datang mengajak kita utk bersua kita selalu bersigap tanpa pertimbangan layaknya komando perang yg mengharuskan kita untuk bertempur.
     Ingatkah kalian kala dan saat malam tersenyum dan kita lakukan ritual melingkar bersulang dibawahnya,Saat2 itulah kita nyatakan merdeka.Mungkin waktu takkan menggelinding berbalik namun memory indah itu takkan karam dan akan tetap terkenang dalam diri kita layknya darah yg mengalir dalam jasmani kita.Tulisan ini memang tak semerdu gubahan mozart,tak seindah tulisan Gibran tak secadas rima Morgue Vanguard tak sepuitis kata2 ocehan para politisi di senayan.tulisan ini hanya sebuah catatan kecil si seniman amatir untuk mengingat memory pada masa berjaya.Kenangan yg tak pernah kita dapati di belahan bumi manapun

malam haram kita lalui ritual melingkar dan bersulang
tak ada perang saling silang saat air itu tertuang
hanya canda riang di  tiap-tiap sudut ruang
Menunggu subuh dan sang fajar yang menantang
melingkar tanpa tendensi melawan arus
menampik ego yg menghunus lewati siklus
Kita telanjangi gelak tawa
mamadu rasa dalam mahligai dewa
menebas candu rindu yang bercongkak
Membaur lebur dlm senggama tuak
cacat sayat kan menguat
jeruji puji kan menguji
badai kelam menyulam alam yg hitam
namun kita  takan punah  dan tenggelam

#R.R.U DYNASTY We Are Forever
#Satu barusan ribuan mimpi

Sabtu, 08 September 2012

KEYAKINAN PERUBAHAN

Desiran angin malam ini buatku flashback ttg masa itu
dimana malam mencekam berpeluh dg ribbbuan DOSA menghantarkan kesadaran akan gambaran masa depan
kemunafikan para kaum hawa,kecongkakan korporasi dan kerinduan akan hadirnya dunia baru
FUCK buat mereka para BAJINGAN-BAJINGAN BEJAT yang telah memporakporandakan sebuah imaji sebuah asaku kala itu.
Sekarang kulihat waktu terus menggelinding,,syukurku akan hadirnya kesadaran utk mengejar mimpi mulai terbuka
keyakinan demi keyakinan mulai nampak jelas ,,sedikit demi sedikit pperubahan dalam hidupku mulai terasa
..alhamdullillah

Sabtu, 07 Juli 2012

TEKAT

Waktu terus menggelinding
TEKATKU TAKKAN TERGULING

Tanpa Judul

Melenggang diatas kegundahan
Kadang rasakan lunglai saat jalani perjuangan
Merangkai mimpi menanam asa
Meredam bumi menantang angkasa

Sabtu, 30 Juni 2012

Kisah Kecil yang membuat si BAJINGAN mengucurkan AIR MATA DAN BUKAN AIR HINA



Bapak Tua Penjual Amplop.. ( sekedar untuk renungan )


Saat menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik.

Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya.

Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop.

Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat. Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba.

Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu. Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur.

Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali, saya menghampiri bapak tadi.

Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya.

Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya. Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak.

Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak. Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu.

Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop.

Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu.

Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan.

Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi. Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju tempat penginapan.

Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata.

Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.

Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka.

Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka. Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat.

Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Di tempat lain saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua. Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di dalam tas bercampur laptop. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.


HANYA DENGAN MEMBACA KADANG SEORANG BAJINGAN BISA TERHARU MENETESKAN AIR MATA.